Sabtu, 06 November 2010
Rinduku Kasih…
Awal pertemuan kita tampa jejak.
Jadi awal dan akhir.
Awalnya memang tak seindah mimpi
Terangnya meyakinkan ku
Sinarnya bagaikan pancaran bola matamu yang indah mempesona
Sebungkah berlian merah jambu bentuk hati yang tulus
Dikau buka pintu hatiku yang membeku…
Dihari-hari yang terasa pendek.jadi akhir
Mengapa semua yang tersisa jadi indah?
Dikau memang pergi menghilang,
Lenyap ditelan bumi tampa meningalkan sebuah jejak kepastian
Untuk menggabarkan ku lewan semeliar anggin malam-malam.
Sudah aku nanti, sudah juga aku cari, sudah kini aku tersadar…
Sudah nasipku dan takdir kita tak di pertemukan.
Pliss, kommenya dong…
Lanjutkan Saja Menghitungnya…
Bagian : 4
Namun, seandainya ku terus melakukan kebiasaan buruku ini. Hingga aku lulus dari bangku kulian, uang yang kubakar adalah mungkin mencapai Rp 50 juta. Terhitung dari kelas 3 SMP dan sampai lulus kuliah (Kurang lebih 10 tahun maksimalnya.) Di saat itu umurku 24 tahun.
Setelah lulus dari bangku kuliah. Aku sepertinya akan berkerja dan punya penghasilan sendiri. Tapi mungkin beberapa tahun kedepan. Harga rokok terus saja naik, karena banyak kencaman dari masarakat untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Terpaksa harga pajak rokok dinaikkan Pemerintah dengan berbagai macam kebijakan yang prorakyat. Bermaksud; Supaya rokok menjadi barang yang mewah dan setiap orang akan berpikir dua kali untuk membelinya.
Dan saat umurku 27 tahun aku putuskan untuk menikahi gadis yang ku kenal dibangku kuliah. Umurnya lebih muda dariku dua tahun. Kebiasaan buruku menjadi-jadi saja. Karena dia menerima saja. Mungkin dia telah cinta mati padaku. Mungkin saja, he he he. Tapi, aku tetap masih melakukan kebiasaan burukku ini. Jadi uang yang kukumpulkan jika tidak membeli rokok adalah 200 juta lebih (tambah 10 tahun lagi harga rokok terus naik 2kali lipatnya atau mungkin saja bisa 3kali lipat). Saat itu mungkin umurku 34 tahun. Dan buah perkawinan kami di karuniai dua orang buah hati.
Ternyata kebiasan burukku ini terus saja kubawa hingga aku meningal di usiaku yang belum genap 52 tahun, karena berbagai macam penyakit yang menyerang tubuh yang rapuh. Saat itu uang yang kuhabiskan mungkin sudah mencapai lebih dari Rp 500-700 juta. Karena dihari tuaku. Sebelum ajal menjeput, dalam keadaan sekarat, aku harus bolak-balik rumah sakit yang menghabiskan banyak uang. Tidak lain penyebabnya, karena penyakit yang dibawa kebiasaan burukku ini. Semua harta, warisan orang tuaku dan rumah tempat tinggal kami bersama keluarga kecilku_ tergadaikan saja sebelumnya. Dan akhirnya terjual hanya setengah harganya saja.
Habis sudah harapan ku…
Untuk melihat masa depan keluarga jadi lebih baik. Sebelum aku menghembuskan napas terakhir. Kini! Nyata adanya_ Dua orang buah hati yang sangat aku sayangi dan isteriku tercinta yang selalu setia, sangat menderita karenanya.
Dua tahun sebelum aku meninggal. Baru sadari kesalahan terbesar yang aku sepelekan selama ini. Memang selama ini berawal dari hanya kesalahan kecil mulanya. Dan buktinya tak seperti itu... Nyata ini kesalahana teramat besar. Memang waktu dua tahun tak cukup untuk merubahnya. Tiada lagi kata memamafkan yang aku dapatkan diwaktu yang singkat itu. Buktinya, mengapa kedua buah hatiku dan isnteri yang tetap setia menemanku tak tersenyum padaku saat aku menghembuskan napas terakhir.
Bersambung…
Setelah lulus dari bangku kuliah. Aku sepertinya akan berkerja dan punya penghasilan sendiri. Tapi mungkin beberapa tahun kedepan. Harga rokok terus saja naik, karena banyak kencaman dari masarakat untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Terpaksa harga pajak rokok dinaikkan Pemerintah dengan berbagai macam kebijakan yang prorakyat. Bermaksud; Supaya rokok menjadi barang yang mewah dan setiap orang akan berpikir dua kali untuk membelinya.
Dan saat umurku 27 tahun aku putuskan untuk menikahi gadis yang ku kenal dibangku kuliah. Umurnya lebih muda dariku dua tahun. Kebiasaan buruku menjadi-jadi saja. Karena dia menerima saja. Mungkin dia telah cinta mati padaku. Mungkin saja, he he he. Tapi, aku tetap masih melakukan kebiasaan burukku ini. Jadi uang yang kukumpulkan jika tidak membeli rokok adalah 200 juta lebih (tambah 10 tahun lagi harga rokok terus naik 2kali lipatnya atau mungkin saja bisa 3kali lipat). Saat itu mungkin umurku 34 tahun. Dan buah perkawinan kami di karuniai dua orang buah hati.
Ternyata kebiasan burukku ini terus saja kubawa hingga aku meningal di usiaku yang belum genap 52 tahun, karena berbagai macam penyakit yang menyerang tubuh yang rapuh. Saat itu uang yang kuhabiskan mungkin sudah mencapai lebih dari Rp 500-700 juta. Karena dihari tuaku. Sebelum ajal menjeput, dalam keadaan sekarat, aku harus bolak-balik rumah sakit yang menghabiskan banyak uang. Tidak lain penyebabnya, karena penyakit yang dibawa kebiasaan burukku ini. Semua harta, warisan orang tuaku dan rumah tempat tinggal kami bersama keluarga kecilku_ tergadaikan saja sebelumnya. Dan akhirnya terjual hanya setengah harganya saja.
Habis sudah harapan ku…
Untuk melihat masa depan keluarga jadi lebih baik. Sebelum aku menghembuskan napas terakhir. Kini! Nyata adanya_ Dua orang buah hati yang sangat aku sayangi dan isteriku tercinta yang selalu setia, sangat menderita karenanya.
Dua tahun sebelum aku meninggal. Baru sadari kesalahan terbesar yang aku sepelekan selama ini. Memang selama ini berawal dari hanya kesalahan kecil mulanya. Dan buktinya tak seperti itu... Nyata ini kesalahana teramat besar. Memang waktu dua tahun tak cukup untuk merubahnya. Tiada lagi kata memamafkan yang aku dapatkan diwaktu yang singkat itu. Buktinya, mengapa kedua buah hatiku dan isnteri yang tetap setia menemanku tak tersenyum padaku saat aku menghembuskan napas terakhir.
Bersambung…
Mencoba Dulu…
Bagian 3:
Aku putuskan untuk berhenti saja merokok, sejak saat itu. Sebenarnya bukan alasan itu saja aku mau berhenti merokok. Terutama karena pacar baruku, yang baru aku kenal saat tingkat satu. Berhasil aku_ merebut hatinya dalam waktu hanya satu tahun saja saling mengenal. Dia sangat cantik. Hanya saja dia tak menyukai kalau aku seorang Pria tampan, tapi suka merokok. Jadi aku mau buktikan rasa cintaku kepadanya. Dan aku berjanji padanya tidak akan merokok lagi.
Dan dia percaya saja kepadaku saat ku katakan setahun yang lalu. Tapi tetap saja aku lanjutkannya. Hanya saja saat bersama memang aku tak lagi tampak dimatanya secara langsung.
Tak terasa sudah lebih dari empat, lima tahun dan memasuki tahun keenam sedah akan berlalu. Aku jalani kebiasaan, yang baru ku sadari sangat-sangat buruk. Andai dulu aku tidak merokok dan mengingat pesan kedua orang tuaku, “Bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan.” Hanya ada rasa sesal yang ku rasakan…
Dan ini saatnya! Memasuk tingkat 3 sudah ku kuliah. Menghabiskan uang kedua orang tua saja kalau aku tak berhasil mengapai cita-cita. Dua tahun berlalu. Mungkin sudah cukup jadi pelajaran yang berharga. Hari ini, jam sekian, menit dan detik juga sekian. Ku tulis dalam semua penjuru sisa hidupku. Aku bejanji sepenuh jiwa dan raga. Dan ku katakan setenggah berteriak dan suara lantang; Katakan Tidak Untuk ‘ SMOKING.’
Ku sadari, “Kalo selama empat tahun saja, uang yang ku punyai tidak digunakan untuk membeli rokok. Berapakah uang yang bisa ku kumpulkan sekarang?”
Berapa ya? Coba kita menghitungnya bersama-sama…
Seandainya setiap hari minimal menghabiskan Rp 8.000,- untuk membeli sebungkus rokok. Berarti uangku lebih dari Rp 2,8 juta/tahun. Itu harga rokok 4 tahun yang lalu. Tapi dilihat perbandingan sekarang harga sebungkus rokok adalah hampir 2x lipatnya. Berarti uang kuhabiskan mencapai Rp 5 juta/tahunnya.
Jadi, Rp 5 juta x 4 = Rp 20 juta lebih uang yang bisa ku tabung.
Seandainya setiap hari minimal menghabiskan Rp 8.000,- untuk membeli sebungkus rokok. Berarti uangku lebih dari Rp 2,8 juta/tahun. Itu harga rokok 4 tahun yang lalu. Tapi dilihat perbandingan sekarang harga sebungkus rokok adalah hampir 2x lipatnya. Berarti uang kuhabiskan mencapai Rp 5 juta/tahunnya.
Jadi, Rp 5 juta x 4 = Rp 20 juta lebih uang yang bisa ku tabung.
Setehun Berlalu…
Bagaian 2 :
Aku sangat menikmati kehidupan baruku. Kuliah memang nomor dua bagiku. Buktinya aku lebih suka nongrong-nogrong sambil ditemani sebatang rokok bersama teman-teman yang tak begitu jelas asal-usulnya, bersantai-santai dari pada masuk ruang kelas yang terasakan membosankan.
Dan sekarang aku masuk tingkat 2 semester ke-3. Ternyata tinggal jauh dari orang tua, seperti inilah rasanya. Dan kehidup mandiri, mengatur keuangan untuk kebutuhan sehari-hari satu bulan kedepan. Hanya sendiri di konterakan_ biasa mahasiswa menyebutnya; “Kostan”. Keseharian bisa ku lebih bebas disini. Dan Aku merasakan kebebasan yang sebenar-benarnya yang aku dapatkan.
Uang kiriman cukup untuk membelinya setiap hari. Tapi, namanya juga kehidupan anak kostan ada saja saat-saat aku kehabisan uang jajan. Dan aku t’lah mencoba berhenti sehari dua hari saja. Tapi mengapa membuatku tidak nyaman, terasa ada yang kurang. Serasakan tak ada yang lebih diinginkan dari itu.
Sekarang hidup tak berarti tampa rokok. Setiap hari Aku harus menghisap rokok. Saat bersantai-santai bersama teman-teman, melamun dan sesudah makan; pagiku, siang, dan malam pasti ingin sekali merokok. Dan lebih dari itu juga saat nongrong-nongrong bersama teman-teman kuliahan. Tak ada yang lebih baik kalau tidak ada.
Kelihatanya aku sangat sehat, tapi jiwaku tidak. Betapa inginya ku berhenti saja dari semua ini, tapi entah mengapa hingga saat ini berat rasanya meninggalkan kebiasaan ku ini. Selain jiwaku, rasanya fisik tidak sesehat dulu.
Saat ku berolahraga paforit yaitu sepakbola saat dikampungku dulu dan futsal di sini. Bedanya tipis adalah hobby ku. Namun, permasalahanya sekarang ku tak bisa lagi menikmati permainannya. Baru setengah babak pertama, napasku terasa sesak dan saat berlari mengejar bola sepertinya ini akhirnya untuk istirahat. Tapi terlihat teman-temanku masih bisa menikmati permainan hingga selesai. Sedangkan diriku jangankan sampai selesai. Menyelesaikan satu babak secara maksimal pun saja aku serasa tak sanggup. Menyerah, menarik nampas yang berat dan menyiksa tampa banyak aku sadari.
Dulu aku ingin sekali menjadi olahragawan, setidaknya pemain futsal profesional. Sepertinya semua telah berakhir. Masa muda telah direnggutnya. Menjadi olahragawan bukan lagi pilihan hidupku, mungkin menjadi pemusik saja. Pikirku pendek beralasan. Dan sadari itu, karena aku tak bisa beryanyi dan apalagi mainkan alat musik.
Katakan Tidak Untuk ‘ SMOKING’
Bagian 1:
Aku baru saja lulus SMA beberpa waktu yang lalu. Dan saatnya aku menginjak bangku kuliah. Orangtuaku mampu untuk menyekolahkan ke PerguruanTinggi. Aku sangat senang sekali. Beberapa hari lagi pengumumam hasil tes Perguruan Tinggi Suasta di umumkan. Aku sangat yakin sekali lulus, jebol, atau keterima kuliah di salah satu Univeristas Suasta di Jakarta. Setelah sebelumnya ikut tes formalitas.
Dan akhirnya aku dinyatakan lulus…
Banyak teman-teman se-SMA satu Daerah, yang lebih pintar tak melanjutkan sekolahnya. Melanjutkan ke Perguruan Tinggi seperti diriku karena keterbatasan materi. Jadi, betapa bangganya aku. Dan lebih dari itu. Aku bisa memilih sendiri sekolah di Universitas mana yang ku sukai. Dan juga aku di bebas memilih sekolah diluar Kota. Yang jauh dari keberadaanku sebelumnya. Tak tanggung-tanggung, dari Kota kecil setingkat Kabupaten di pesisir pulau Sumatra ke Ibukota Negara.
Pada awalnya…
Pertamanya_ ku hanya coba-coba merokok. Waktu itu aku masih SMP. Dan saat kelas tiga SMP lebih tepat aku telah menjadi seseorang g perokok aktif. Mungkin karena pergaulan bersama teman-temanku penyebat terbesarnya membuat terjerumus menjadi ikut-ikutan merokok. Tapi mereka tak sepenuhnya bisa ku salahkan. Aku juga salah. Tampa mereka ajak pun mungkin ku akan mencobanya sendiri. Banyak alasanya, termasuk mudah sekali mendapatkannya. Dengan membelinya dimana pun ada. Anak SD pun juga bisa mendapatkannya. Buktinya, Wawan temanku yang masih kelas 4 SD dengan mudahnya membeli diwarung-warung terdekat.
Dan hingga masuk SMA, Ayah dan Ibuku tidak menggetahui kalau aku adalah seorang anak yang suka merokok. Memang penyebabnya! Mereka terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan kantornya masing-masing. Bisa dibanyangkan kalau sampai ketahuan, aku akan dimarahi habis-habisan dan mungkin aku tak bakal di sekolahkan ke perguruan tinggi. Aku sadar kalau Orangtuaku peduli dengan masa depanku, kalaupun mereka tahu mereka pasti masih menginginkan aku melanjutkan sekolah. Tetapi hebatnya aku, hingga aku lulus SMA_ kebetulan dengan nilai hasil UN setandar, pas-pasan. Untuk lulus saja. Sepertinya kedua orang tuaku tidak mengetahuinya. Hanya kadang-kadang mereka curiga. Tapi aku selalu punya banyak alasan untuk menyakalnya. Sepertinya selalu sukses…
Dan hingga masuk SMA, Ayah dan Ibuku tidak menggetahui kalau aku adalah seorang anak yang suka merokok. Memang penyebabnya! Mereka terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan kantornya masing-masing. Bisa dibanyangkan kalau sampai ketahuan, aku akan dimarahi habis-habisan dan mungkin aku tak bakal di sekolahkan ke perguruan tinggi. Aku sadar kalau Orangtuaku peduli dengan masa depanku, kalaupun mereka tahu mereka pasti masih menginginkan aku melanjutkan sekolah. Tetapi hebatnya aku, hingga aku lulus SMA_ kebetulan dengan nilai hasil UN setandar, pas-pasan. Untuk lulus saja. Sepertinya kedua orang tuaku tidak mengetahuinya. Hanya kadang-kadang mereka curiga. Tapi aku selalu punya banyak alasan untuk menyakalnya. Sepertinya selalu sukses…
“W Livingstone Larned : Ayah Juga Lupa.”
Dengar, Nak; Ayah mengatakan ini saat kau terbaring tidur, sebelah tangan kecil merayap dipipimu dan rambutmu yang keriting hitam(pirang) lengket pada dahimu yang lembap. Ayah masuk menyelinap seorang diri masuk kekamarmu. Baru beberapa menit yang lalu, ketika ayah sedang membaca Koran diruang perpustakan, satu sapuan sesal yang amat dalam menerpa. Dengan perasaan bersalah Ayah datang menghampiri pembaringanmu.
Ada hal-hal yang Ayah pikirkan, Nak; Ayah selama ini bersikap kasar padamu. Ayah membentakmu, ketika kau sedang berpakain hendak pergi ke sekolahan karena kau Cuma menyeka mukamu sekilas dengan handuk. Lalu Ayah liat kau tidak mebersikan sepatumu. Ayah berteriak marah saat kau melempar beberapa barangmu ke lantai.
Saat makan pagi Ayah juga menemukan kesalahan. Kau meludakan makanmu. Kau meletkan sikutmu di atas meja. Kau mengoles rotimu dengan terlalu banyak mentega. Dan ketika kau baru mulai bermain dan Ayah berangkat mengejar kereta api, kau berpaling dan melambaikan tangan sambil berseru, “Selamat jalan Ayah.” Dan Ayah mengerutkan dahi, lalu menjawab, “Tegakan bahumu...”
Kemudian semua itu berulang lagi pada sore hari, begitu Ayah baru muncul dari jalan, ayah segera mengamatimu denan cermat, memandang hingga lutut, memandangmu saat sedang bermain kelereng. Ada lubang-lubang pada kaus kakimu. Ayah menghinamu di depan teman-temanmu, lalu mengiring kau untuk pulang ke rumah.” kaus kaki mahal_ kalau kau yang harus membelinya, kau akan lebih berhati-hati. Bayangkan itu Nak.” Itu yang keluar dari pikiran Ayah. Apakah kau ingat, nantinya, ketika Ayah sedang membaca di ruang perpustakan, bagaimana kau datang dengan perasan takut, dengan rasa yang terluka dalam matamu? Ketika Ayah harus memandang koran tidak sabar karenamu, kau jadi ragu-ragu didepan pintu. “Kau mau apa?” Semprot Ayah.
Kau tidak berkata sepatah pun, melainkan berlari melompat kearah Ayah, kau melempar tanganmu melingkar leher Ayah dan mencium Ayah, tangan-tanganmu yang kecil semakin erat memeluk dengan hangat, kehangatan yang telah Tuhan tetapkan untuk mekar di dalam hatimu dan yang bahkan mengabaikan sekali pun tidak mampu melemahkannya. Dan kemudian kau pergi bergegas menaiki tangga.
Nak, Nak, sesaat itu Koran jatuh dari tanggan Ayah, dan satu rasa takut menyakitkan menerpa Ayah. Kebiasaan apa yang telah Ayah lakukan? Kebiasaan yang selalu menemukan kesalahan, dalam mencerca_ ini adalah hadiah Ayah untukmu sebagai seorang anak laki-laki Ayah. Bukan berarti Ayah tidak mencintaimu; Ayah lakukan ini Ayah terlalu berharap terlalu banyak dari masa mudamu. Ayah sedang mengukurmu dengan kayu pengukur dari tahun-tahun Ayah sendiri….
Sumber; Carnegie, dale. Bagaimana Cara Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain, Binarupa Aksara, Jakarta, 2006.
Ada hal-hal yang Ayah pikirkan, Nak; Ayah selama ini bersikap kasar padamu. Ayah membentakmu, ketika kau sedang berpakain hendak pergi ke sekolahan karena kau Cuma menyeka mukamu sekilas dengan handuk. Lalu Ayah liat kau tidak mebersikan sepatumu. Ayah berteriak marah saat kau melempar beberapa barangmu ke lantai.
Saat makan pagi Ayah juga menemukan kesalahan. Kau meludakan makanmu. Kau meletkan sikutmu di atas meja. Kau mengoles rotimu dengan terlalu banyak mentega. Dan ketika kau baru mulai bermain dan Ayah berangkat mengejar kereta api, kau berpaling dan melambaikan tangan sambil berseru, “Selamat jalan Ayah.” Dan Ayah mengerutkan dahi, lalu menjawab, “Tegakan bahumu...”
Kemudian semua itu berulang lagi pada sore hari, begitu Ayah baru muncul dari jalan, ayah segera mengamatimu denan cermat, memandang hingga lutut, memandangmu saat sedang bermain kelereng. Ada lubang-lubang pada kaus kakimu. Ayah menghinamu di depan teman-temanmu, lalu mengiring kau untuk pulang ke rumah.” kaus kaki mahal_ kalau kau yang harus membelinya, kau akan lebih berhati-hati. Bayangkan itu Nak.” Itu yang keluar dari pikiran Ayah. Apakah kau ingat, nantinya, ketika Ayah sedang membaca di ruang perpustakan, bagaimana kau datang dengan perasan takut, dengan rasa yang terluka dalam matamu? Ketika Ayah harus memandang koran tidak sabar karenamu, kau jadi ragu-ragu didepan pintu. “Kau mau apa?” Semprot Ayah.
Kau tidak berkata sepatah pun, melainkan berlari melompat kearah Ayah, kau melempar tanganmu melingkar leher Ayah dan mencium Ayah, tangan-tanganmu yang kecil semakin erat memeluk dengan hangat, kehangatan yang telah Tuhan tetapkan untuk mekar di dalam hatimu dan yang bahkan mengabaikan sekali pun tidak mampu melemahkannya. Dan kemudian kau pergi bergegas menaiki tangga.
Nak, Nak, sesaat itu Koran jatuh dari tanggan Ayah, dan satu rasa takut menyakitkan menerpa Ayah. Kebiasaan apa yang telah Ayah lakukan? Kebiasaan yang selalu menemukan kesalahan, dalam mencerca_ ini adalah hadiah Ayah untukmu sebagai seorang anak laki-laki Ayah. Bukan berarti Ayah tidak mencintaimu; Ayah lakukan ini Ayah terlalu berharap terlalu banyak dari masa mudamu. Ayah sedang mengukurmu dengan kayu pengukur dari tahun-tahun Ayah sendiri….
Sumber; Carnegie, dale. Bagaimana Cara Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain, Binarupa Aksara, Jakarta, 2006.
Langganan:
Postingan (Atom)