Sabtu, 06 November 2010

“W Livingstone Larned : Ayah Juga Lupa.”

Dengar, Nak; Ayah mengatakan ini saat kau terbaring tidur, sebelah tangan kecil merayap dipipimu dan rambutmu yang keriting hitam(pirang) lengket pada dahimu yang lembap. Ayah masuk menyelinap seorang diri masuk kekamarmu. Baru beberapa menit yang lalu, ketika ayah sedang membaca Koran diruang perpustakan, satu sapuan sesal yang amat dalam menerpa. Dengan perasaan bersalah Ayah datang menghampiri pembaringanmu.

Ada hal-hal yang Ayah pikirkan, Nak; Ayah selama ini bersikap kasar padamu. Ayah membentakmu, ketika kau sedang berpakain hendak pergi ke sekolahan karena kau Cuma menyeka mukamu sekilas dengan handuk. Lalu Ayah liat kau tidak mebersikan sepatumu. Ayah berteriak marah saat kau melempar beberapa barangmu ke lantai.

Saat makan pagi Ayah juga menemukan kesalahan. Kau meludakan makanmu. Kau meletkan sikutmu di atas meja. Kau mengoles rotimu dengan terlalu banyak mentega. Dan ketika kau baru mulai bermain dan Ayah berangkat mengejar kereta api, kau berpaling dan melambaikan tangan sambil berseru, “Selamat jalan Ayah.” Dan Ayah mengerutkan dahi, lalu menjawab, “Tegakan bahumu...”

Kemudian semua itu berulang lagi pada sore hari, begitu Ayah baru muncul dari jalan, ayah segera mengamatimu denan cermat, memandang hingga lutut, memandangmu saat sedang bermain kelereng. Ada lubang-lubang pada kaus kakimu. Ayah menghinamu di depan teman-temanmu, lalu mengiring kau untuk pulang ke rumah.” kaus kaki mahal_ kalau kau yang harus membelinya, kau akan lebih berhati-hati. Bayangkan itu Nak.” Itu yang keluar dari pikiran Ayah. Apakah kau ingat, nantinya, ketika Ayah sedang membaca di ruang perpustakan, bagaimana kau datang dengan perasan takut, dengan rasa yang terluka dalam matamu? Ketika Ayah harus memandang koran tidak sabar karenamu, kau jadi ragu-ragu didepan pintu. “Kau mau apa?” Semprot Ayah.

Kau tidak berkata sepatah pun, melainkan berlari melompat kearah Ayah, kau melempar tanganmu melingkar leher Ayah dan mencium Ayah, tangan-tanganmu yang kecil semakin erat memeluk dengan hangat, kehangatan yang telah Tuhan tetapkan untuk mekar di dalam hatimu dan yang bahkan mengabaikan sekali pun tidak mampu melemahkannya. Dan kemudian kau pergi bergegas menaiki tangga.

Nak, Nak, sesaat itu Koran jatuh dari tanggan Ayah, dan satu rasa takut menyakitkan menerpa Ayah. Kebiasaan apa yang telah Ayah lakukan? Kebiasaan yang selalu menemukan kesalahan, dalam mencerca_ ini adalah hadiah Ayah untukmu sebagai seorang anak laki-laki Ayah. Bukan berarti Ayah tidak mencintaimu; Ayah lakukan ini Ayah terlalu berharap terlalu banyak dari masa mudamu. Ayah sedang mengukurmu dengan kayu pengukur dari tahun-tahun Ayah sendiri….



Sumber; Carnegie, dale. Bagaimana Cara Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain, Binarupa Aksara, Jakarta, 2006.

Tidak ada komentar: